![]() |
| Foto istimewa |
Jakarta – Sorotan tajam publik kini mengarah kepada Harita Group, setelah perusahaan tambang nikel itu menerima sejumlah pengakuan bergengsi terkait Hak Asasi Manusia (HAM) dan keberlanjutan. Harita Nickel baru saja meraih Anugerah Integrasi Bisnis dan HAM 2025 dari SETARA Institute setelah diaudit oleh Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), standar pertambangan global yang kerap dianggap kontroversial.
Namun, di balik panggung penghargaan itu, bahasa-bahasa manis tentang komitmen HAM, terdapat realitas berbeda yang disuarakan masyarakat Pulau Obi, Maluku Utara, wilayah inti operasi Harita. Pasalnya, warga justru terus menyaksikan dan mengalami langsung krisis lingkungan yang terus memburuk, hilangnya ruang hidup, dan tekanan sosial yang meningkat akibat ekspansi industri nikel.
Koordinator Perkumpulan Aktivis Maluku Utara, Yohanes Masudede, menyebut bahwa penghargaan dan audit tersebut tidak hanya absurd, tetapi juga berbahaya, karena berpotensi memutihkan praktik gelap yang sudah lama dikeluhkan warga. Yohanes juga menyampaikan bahwa rangkaian penghargaan dan audit yang diterima Harita adalah proses legitimasi yang cacat dan berpotensi menyesatkan publik internasional tentang situasi sebenarnya.
“SETARA Institute bicara soal HAM, tapi mereka tidak melihat tangan-tangan warga yang harus menggali pasir karena sumur mereka tercemar. Mereka bicara integritas perusahaan, tapi mereka menutup mata terhadap abrasi, sedimentasi, dan hutan yang hilang. Kalau itu bukan kehilangan sense of human, lalu apa?” Ujar Yohanes yang juga peneliti IRDeM saat ditemui di bilangan Jakarta Pusat, pada Kamis 12 Desember 2025.
Yohanes mengingatkan bahwa Harita Group tidak sedang beroperasi dalam ruang hampa. Kasus suap kepada mantan Gubernur Maluku Utara AGK yang melibatkan salah satu direktur dari anak perusahaan Harita masih menjadi catatan serius dalam tata kelola perusahaan. Namun, ironinya, dua lembaga itu justru tetap memberikan ruang apresiasi dan audit tanpa mempertimbangkan konteks hukum tersebut.
“Saya mau nanya, IRMA dan SETARA apakah benar tidak tahu, atau mereka pura-pura tidak tahu? Bagaimana mungkin perusahaan yang pernah terseret kasus suap perizinan diberikan penghargaan HAM? Ada logika apa di balik keputusan seperti itu?” Ucapnya.
Pengacara muda nasional sekaligus tokoh muda Maluku Utara ini menyebut bahwa di Pulau Obi, klaim keberlanjutan Harita bertolak belakang secara dramatis dengan kenyataan. Ia juga bilang, warga di beberapa desa harus berjuang mendapatkan air bersih setelah sumber air mereka berubah keruh, dan hutan-hutan di punggung bukit Obi berubah menjadi area tambang dan jalan industri.
“Namun semua persoalan itu tiba-tiba mau dilenyapkan dengan cara bangun kerja sama dengan lembaga-lembaga penilai keberlanjutan yang hanya mengacu pada laporan ESG, proposal presentasi, dan komitmen-komitmen resmi yang tidak merepresentasikan kenyataan sebenarnya,” ujar Yohanes.
Yohanes mengungkapkan bahwa IRMA bekerja dengan standar global, tetapi skor auditnya patut diragukan. Menurutnya, hal ini sangat beralasan, karena model pembiayaan audit, di mana perusahaan tambang membayar firma auditor secara langsung, menimbulkan konflik kepentingan yang fundamental.
“Dari faktor finansial ini jelas-jelas mengikis independensi auditor, meski audit IRMA dirancang dengan niat baik, tapi justru mengandung kelemahan struktural yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan dengan rekam jejak buruk untuk mendapatkan legitimasi," beber Yohanes.
Ia juga mencontohkan, kasus SQM (Sociedad Química y Minera) di Chili dan Sibanye-Stillwater di Afrika Selatan mengilustrasikan bagaimana masalah konflik kepentingan, konsultasi masyarakat, dan upaya greenwashing melekat dalam model audit IRMA.
“Oleh karena itu, sangat penting bagi pembeli bahan tambang, investor, dan pembuat kebijakan, untuk tidak hanya melihat skor dari hasil audit IRMA, tetapi juga mendalami laporan lengkapnya, mendengarkan suara masyarakat lokal, dan melengkapi informasi tersebut dengan sumber data lainnya, “ tegasnya.
Yohanes juga mencurigai di balik seluruh rangkaian audit IRMA hanya soal kepentingan bisnis yang lebih diprioritaskan daripada aspek penyelamatan lingkungan dan kemanusiaan. Menurutnya, ini hanya kepura-puraan Harita Group, karena begitu transisi energi global membutuhkan nikel, perusahaan ini juga ingin mendapatkan sertifikat “hijau” agar melancarkan bisnisnya di pasar dunia.
“Dalam situasi itu, setiap sertifikasi atau penghargaan menjadi kunci reputasi yang sangat strategis untuk menutupi setiap kebohongan yang dilakukan, saya bersama teman-teman aktivis Malut melihat semua ini bukan sebagai evaluasi independen, tetapi sebagai bagian dari ekosistem pencitraan dan praktik greenwashing untuk sesatkan publik,” ungkapnya.
Ia juga membongkar data dari Business & Human Rights Resource Center 2025, bahwa inti lokasi Harita sengaja dihilangkan dalam proyek pengoperasiannya di Indonesia, jika dibandingkan dengan perusahaan lain seperti Freeport dan Weda Bay Nickel serta perusahaan-perusahan raksasa di negara lain.
“Entah apakah ini sengaja atau tidak, tapi kita patut mempertanyakan, bahkan sangat patut untuk menyampaikan kepada dunia dan pasar global bahwa Harita Group bukan perusahaan yang pro terhadap lingkungan dan kemanusiaan,” katanya.
Sementara itu, penghargaan dari SETARA Institute dianggap oleh Yohanes sebagai pukulan telak bagi warga Obi. Lembaga yang selama ini dikenal kritis terhadap pelanggaran HAM justru memberikan predikat terhormat kepada perusahaan yang menurut catatan warga telah mengubah ruang hidup mereka menjadi zona konflik ekologis.
“SETARA Institute boleh punya metodologi, tapi metodologi tanpa empati adalah mesin kosong, lembaga ini kehilangan sense of human terhadap warga Obi. Kalau penghargaan HAM tidak mempertimbangkan suara korban, buat apa penghargaan itu?” Tanya Yohanes dengan nada heran.
Yohanes menambahkan bahwa penghargaan semacam itu bukan hanya membingungkan publik, tetapi juga memperdalam ketidakadilan bagi masyarakat lokal. Dalam pandangannya, penghargaan seperti ini justru memperkuat posisi perusahaan dan melemahkan daya tawar warga.
“Ini bukan sekadar piagam. Ini stempel moral dan kemanusiaan. Dan ketika stempel itu diberikan pada pihak yang bermasalah, maka korban adalah yang paling dirugikan, yes masyarakat Pulau Obi, kan?” Ujarnya.
Yohanes mengajak kepada seluruh pihak yang sedang memberi atensi untuk menuntut IRMA agar meninjau kembali hasil audit, serta meminta SETARA Institute melakukan klarifikasi dan mengevaluasi dosa-dosanya di balik penghargaan mereka.
Mantan Ketua GMKI Yogyakarta ini menyebut bahwa warga Obi tidak “memakan piagam”, juga tidak butuh pencitraan global, yang mereka butuhkan adalah air bersih, lingkungan yang aman, dan hak hidup yang dihormati.
“Jika lembaga-lembaga NGO yang fokus kepada isu HAM dan keberlanjutan ikut buta, harus ada yang bertanya: apa sebenarnya yang sedang dimainkan di balik semua penghargaan ini,” tutupnya.**
