Bacan, Maluku Utara — Dunia kerja di tubuh PT Gelora Mandiri Membangun (GMM) kembali diguncang. Seorang pejabat penting perusahaan, Rosida Hanafi, yang menjabat sebagai Human Resource Development (HRD), resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus penganiayaan oleh Polres Halmahera Selatan.
Penetapan tersebut tertuang dalam Surat Ketetapan Nomor: S.Tap/144/IX/2025/Sat Reskrim, bertanggal 20 September 2025. Dalam surat itu, penyidik juga menjadwalkan pemanggilan terhadap Rosida pada Kamis, 23 September 2025 pukul 14.00 WIT, di ruang Sat Reskrim Polres Halmahera Selatan untuk pemeriksaan lanjutan.
Perkara ini bermula dari laporan penganiayaan yang terjadi pada Sabtu, 22 Februari 2025 sekitar pukul 13.15 WIT, di Pos Pam Polisi PT GMM, Desa Gane Dalam, Kecamatan Gane Barat Selatan. Setelah serangkaian pemeriksaan saksi dan bukti, penyidik memastikan dua alat bukti yang sah hingga akhirnya menaikkan status Rosida dari saksi menjadi tersangka.
Kasus ini sontak menuai sorotan publik, terutama dari kalangan aktivis mahasiswa. Ketua GMNI Kota Ternate, Mursal Hamir, menilai penetapan tersangka terhadap seorang pejabat HRD merupakan tamparan keras bagi kredibilitas manajemen perusahaan.
“HRD itu seharusnya menjadi contoh dalam etika dan hubungan kerja, bukan justru terseret dalam dugaan kekerasan. Ini ujian serius bagi PT GMM dalam membuktikan tanggung jawab moral dan korporasi mereka,” tegas Mursal.
Ia mendesak manajemen perusahaan bersikap transparan dan tidak bersembunyi di balik jabatan. Menurutnya, sikap diam hanya akan memperkuat dugaan bahwa perusahaan gagal menegakkan prinsip keadilan internal.
“Transparansi dan penghormatan terhadap proses hukum itu kunci. Kalau diam, publik bisa menilai sendiri seperti apa integritas perusahaan ini,” lanjutnya.
Hingga berita ini tayang, pihak manajemen PT GMM belum memberikan keterangan resmi terkait status hukum pejabat HRD mereka. Sementara itu, pihak kepolisian memastikan proses penyidikan akan berjalan profesional dan transparan, tanpa pandang bulu.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi dunia kerja di Maluku Utara. Bahwa jabatan tinggi sekalipun tidak bisa menjadi tameng dari hukum. “Semua sama di hadapan hukum — dan publik menunggu bukti, bukan janji,” ujar seorang aktivis muda yang ikut menyoroti kasus ini.**
